CERITA NEGERI, Jakarta. Mahkamah Konstitusi (MK) secara resmi memutuskan menolak gugatan Calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota Makassar Nomor Urut 3 Indira Yusuf Ismail-Ilham Ari Fauzi A Uskara. MK memutuskan bahwa Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) 2024 Wali Kota dan Wakil Wali Kota Makassar dengan perkara nomor 218/PHPU.WAKO-XXIII/2025 menolak gugatan Pasangan Calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota Makassar Nomor Urut 3 Indira Yusuf Ismail-Ilham Ari Fauzi A Uskara.
“Amar putusan, mengadili dalam eksepsi 1 mengabulkan eksepsi termohon dan eksepsi pihak terkait berkenaan dengan kedudukan hukum pemohon,” jelas Ketua MK Suhartoyo dalam sidang putusan, Selasa (4/2/2025).
Pasangan Calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota Makassar Nomor Urut 3 Indira Yusuf Ismail – Ilham Ari Fauzi A Uskara mengajukan gugatan karena menemukan pelanggaran. Pelanggaran yang dimaksud terjadi secara terstruktur dan sistematis yang menyulitkan pemilih untuk menggunakan hak pilihnya dalam Pilwalkot Makassar. Anomali ini ditandai dengan banyaknya pemilih dalam satu kartu keluarga (KK), tetapi memilih pada tempat pemungutan suara (TPS) yang berbeda-beda. Adapun untuk Sidang Pemeriksaan Pendahuluan Perkara Nomor 218/PHPU.WAKO-XIII/2025 dilaksanakan Panel 3 yang dipimpin Hakim Konstitusi Arief Hidayat dengan didampingi Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih dan Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P Foekh pada Jumat (10/1/2025).
Dalam pokok permohonannya, Pemohon menilai adanya dugaan pelanggaran dengan melibatkan Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) yang terafiliasi pada pasangan calon tertentu. Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Makassar selaku Termohon yang diduga menghambat pemilih untuk menggunakan hak pilihnya. Yang didalilkan Pemohon adalah dugaan KPU Kota Makassar menyulitkan pemilih dan menguntungkan pasangan calon tertentu dengan menentukan TPS yang berjauhan dari alamat pemilih. Diantaranya menempatkan pemilih dalam satu kartu keluarga (KK) di TPS yang berbeda-beda.
KPU Kota Makassar yang menentukan TPS pemilih berjauhan dari alamat domisili, kata Kuasa Hukum, merupakan tindakan yang menyebabkan pemilih dihambat hak pilihnya, berpotensi kehilangan hak pilihnya, dan merugikan Pemohon. Ia mengacu pada Putusan Nomor 102/PUU-VIl/2009, yang pada pokoknya menyatakan bahwa sebagai hak konstitusional warga negara untuk memilih tidak boleh dihambat atau dihalangi. Selain itu, Pemohon dalam permohonannya juga menyoroti dugaan manipulasi kehadiran pemilih secara terstruktur dan sistematis melalui tanda tangan fiktif di Daftar Hadir Pemilih Tetap (DHPT).
Manipulasi dengan hadirnya “pemilih siluman” yang memberikan tanda tangan palsu di DHPT. Setidaknya, Pemohon melakukan pembandingan tanda tangan KTP dan DHPT di 32 kelurahan dan 15 kecamatan. Dugaan pemalsuan tanda tangan ini dapat teridentifikasi dari empat hal, yakni perbedaan tanda tangan pemilih antara KTP dengan DHPT. Ini didukung dengan pengakuan dari petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan suara yang menyatakan bahwa KPPS sendiri yang menandatangani seluruh DHPT. Pemilih tidak diminta menandatangani DHPT dan tanda tangan yang secara kasat mata identik pada dua nama orang atau lebih yang tercantum dalam satu DHPT.