CERITANEGERI, Jakarta — Riuh rendah Muktamar X PPP di Jakarta meninggalkan jejak yang tidak sederhana. Di satu sisi, Agus Suparmanto dinobatkan sebagai ketua umum baru periode 2025–2030. Di sisi lain, kubu Muhammad Mardiono juga menyatakan dirinya sebagai pemimpin sah partai. Dua arus ini menciptakan ketegangan baru dalam tubuh partai berlambang Kabah.
Namun, berbeda dari kebiasaan konflik internal yang kerap berujung pada perpecahan berkepanjangan, Agus memilih jalan sebaliknya: rekonsiliasi.
“Saya siap merangkul semua pihak. PPP adalah rumah bersama. Sudah waktunya kita bersatu, tidak ada lagi ruang untuk perpecahan,” tegas Agus usai penetapannya.
PPP sudah berkali-kali dirundung persoalan kepemimpinan. Sejak era Suryadharma Ali, Romahurmuziy, hingga Mardiono, pertikaian di internal partai selalu menjadi batu sandungan. Setiap kali konflik muncul, suara PPP di pemilu cenderung tergerus.
Pengalaman pahit itu tampaknya menjadi refleksi bagi Agus. Ia menyadari, tanpa persatuan, sulit bagi PPP untuk kembali meraih kejayaan. “Kata ‘persatuan’ dalam nama partai ini bukan sekadar simbol, melainkan harus kita wujudkan dulu di dalam tubuh PPP sendiri,” ujarnya.
Hasil Muktamar X melahirkan dua versi cerita. Kubu Agus mengklaim dirinya terpilih lewat aklamasi setelah Mardiono meninggalkan arena sidang. Sementara kubu Mardiono menegaskan tetap sah dengan dukungan mayoritas DPW dalam forum tertutup.
Situasi ini menimbulkan tanda tanya besar di kalangan kader daerah. Mereka menunggu kepastian kepemimpinan agar bisa segera bergerak menyiapkan strategi politik, terutama menghadapi Pemilu 2029.
Sejumlah tokoh internal mendorong agar konflik tidak dibiarkan berlarut. Taj Yasin Maimoen (Gus Yasin) mengingatkan bahwa kader di akar rumput membutuhkan ketenangan dan kejelasan arah partai.
Pengamat politik juga menilai langkah Agus membuka ruang rekonsiliasi adalah strategi realistis. Tanpa itu, PPP berisiko kembali terjebak dalam lingkaran perpecahan yang sudah lama melemahkan daya tawar politiknya.
Baca juga: Indonesia Tegaskan Dukungan Solusi Dua Negara untuk Akhiri Tragedi Gaza
“Kalau kedua kubu bisa duduk bersama, PPP masih punya peluang memperbaiki citra dan konsolidasi jelang Pemilu 2029,” kata Ahmad Firdaus, analis politik dari UIN Jakarta.
Meski niat baik sudah disuarakan, tantangan di depan masih menanti. Potensi sengketa hukum terkait hasil muktamar bisa menghambat proses rekonsiliasi. Namun, Agus menegaskan ia siap memulai dialog dengan semua pihak.
“Mari kita tinggalkan ego. Kita satukan langkah demi umat, demi bangsa, dan demi PPP,” ujarnya.
Bagi sebagian kader, ucapan itu memberi secercah harapan. Mereka ingin PPP kembali solid dan berperan signifikan dalam peta politik nasional. Pertanyaan yang tersisa: apakah Mardiono akan menyambut ajakan damai tersebut, atau partai ini kembali terjebak dalam siklus lama perpecahan?












