CERITANEGERI, Makassar – Dunia pendidikan kembali tercoreng oleh kasus dugaan pelecehan seksual terhadap siswi sekolah dasar yang diduga dilakukan seorang guru di Makassar.
Pelaku berinisial IPT (32) ditangkap aparat kepolisian pada akhir September lalu. Ia diduga berulang kali melecehkan siswinya dengan modus les privat.
Kasus ini bukan hanya mengungkap perilaku menyimpang seorang oknum, tetapi juga memperlihatkan celah dalam sistem perlindungan anak di lingkungan sekolah.
Rentetan kasus serupa di berbagai daerah menunjukkan bahwa mekanisme pencegahan, pelaporan, dan penanganan kekerasan seksual di tingkat satuan pendidikan belum berjalan optimal.
Dosen Prodi Teknologi Pendidikan, Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Makassar (UNM), Sofyan Basri, menilai kasus ini harus menjadi peringatan serius bagi dunia pendidikan.
“Tidak boleh ada toleransi sedikit pun bagi guru atau pendidik yang menyalahgunakan kepercayaan untuk kepentingan predatorik. Sekolah harus menjadi ruang aman, bukan ruang ancaman bagi anak,” ujarnya, Minggu (5/10).
Ia menegaskan, implementasi kebijakan nasional terkait pencegahan kekerasan seksual di sekolah harus dilakukan secara nyata.
Pemerintah melalui Permendikbudristek Nomor 46 Tahun 2023 telah mewajibkan setiap sekolah membentuk Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (TPPK) yang bertugas menerima laporan, melakukan investigasi, dan melindungi korban.
“Permendikbudristek No. 46 itu bukan sekadar dokumen administratif, tetapi komitmen moral dan hukum untuk melindungi anak dari kekerasan berbasis kuasa,” jelasnya.
Sofyan yang juga pengurus KNPI Kota Makassar menilai banyak sekolah masih belum memahami substansi aturan tersebut.
“Dinas Pendidikan dan stakeholder terkait harus bersinergi memperkuat pencegahan kekerasan seksual, baik melalui pelatihan maupun kurikulum yang lebih empatik,” tambahnya.
Menurutnya, penguatan pendidikan moral dan etika profesi guru harus berjalan seiring dengan pembenahan kelembagaan sekolah.
“Sekolah tidak cukup hanya punya regulasi tertulis. Harus tumbuh budaya yang menolak segala bentuk kekerasan dan pelecehan,” tegasnya.
Ia juga mengingatkan bahwa pendidikan bukan sekadar transfer ilmu, tetapi pembentukan nilai kemanusiaan.
“Guru harus sadar sebagai pemegang amanah sosial, bukan pemilik kuasa atas tubuh dan perasaan siswa,” ujarnya.
Sofyan mendorong peran organisasi pemuda, lembaga sosial, dan komunitas mahasiswa dalam sosialisasi anti-kekerasan di sekolah.
“Kita perlu kolaborasi lintas sektor agar sekolah benar-benar menjadi tempat yang mendidik, bukan menakutkan,” katanya.
Baca juga: Haswin Hasan Terpilih Secara Aklamasi sebagai Formatur KNPI Manggala
Selain proses hukum terhadap pelaku, Sofyan menekankan pentingnya pemulihan psikologis korban.
“Pemulihan korban harus menjadi prioritas utama. Jangan sampai mereka menjadi korban dua kali, pertama oleh pelaku, kedua oleh lingkungan yang abai,” ungkapnya.
Ia juga menegaskan perlunya sistem pelaporan yang aman, rahasia, dan berpihak pada korban.
“Setiap anak berhak belajar tanpa rasa takut. Itu tugas kita semua untuk memastikan,” pungkasnya.












