Berita  

Suara dari Timur: Ajoeba Wartabone Diangkat di Ubud Writers & Readers Festival 2025

CERITANEGERI, UBUD — Kisah perjuangan tokoh asal Gorontalo, Ajoeba Wartabone (1894–1957), kembali mengemuka dalam ajang Ubud Writers & Readers Festival (UWRF) 2025 di Bali. Melalui peluncuran buku berjudul “Suara dari Timur: Mengenang Ajoeba Wartabone dan Perjuangan Menuju Indonesia Bersatu”, publik diajak menelusuri kembali peran tokoh dari Indonesia Timur dalam mempertahankan keutuhan Republik Indonesia.

Buku setebal 450 halaman tersebut diterbitkan oleh Diomedia dengan judul lengkap “Ajoeba Wartabone (1894–1957): Sekali ke Djokja Tetap ke Djokja — Biografi Gagasan dan Kepemimpinan dari Gorontalo untuk Indonesia Bersatu.”
Karya ini ditulis oleh Basri Amin, S.Sos., M.A., yang menelusuri berbagai arsip dalam dan luar negeri untuk menggali kembali pemikiran serta kiprah Ajoeba dalam bidang politik, pendidikan, dan nasionalisme.

Ajoeba dikenal sebagai pemimpin progresif asal Gorontalo yang memiliki sikap tegas menolak sistem federal bentukan Belanda pada masa pasca kemerdekaan.
Pada Konferensi Denpasar 1946, Ajoeba tampil sebagai salah satu suara dari Timur yang menyerukan persatuan nasional di tengah tekanan kolonial.

Setahun kemudian, dalam Sidang Parlemen Negara Indonesia Timur (NIT) di Makassar, 1947, Ajoeba menyampaikan pernyataan yang kemudian melegenda:

“Sekali ke Djokja, Tetap ke Djokja.”

Pernyataan tersebut menjadi simbol dukungan tanpa syarat terhadap Pemerintah Republik Indonesia yang saat itu berpusat di Yogyakarta, sekaligus penegasan sikap menolak upaya pecah-belah bangsa.

Diskusi buku di Ubud menghadirkan sejumlah narasumber, di antaranya Prof. Dr. Anak Agung Bagus Wirawan, S.U. (sejarawan Bali), Basri Amin (penulis), dan Isabella Roberts, ACA, MSc. (peneliti partisipasi publik asal Inggris).
Acara dipandu oleh Maruschka Niode dengan Amanda Katili sebagai moderator.

Dalam diskusi tersebut, para pembicara menyoroti pentingnya menempatkan tokoh-tokoh dari Indonesia Timur sebagai bagian integral dari sejarah nasional.
Menurut Basri Amin, penulisan biografi Ajoeba adalah upaya menghidupkan kembali percakapan tentang Indonesia Timur yang berpikir maju dan setia pada semangat persatuan.

“Ajoeba menunjukkan bahwa dari Gorontalo pun bisa lahir pemimpin yang berpikir nasional. Ia bukan sekadar tokoh lokal, tetapi simbol keberanian moral,” ujar Basri.

Dalam pengantar buku tersebut, Prof. Dr. Meutia Farida Hatta Swasono, antropolog sekaligus Ketua Ikatan Keluarga Pahlawan Nasional Indonesia (IKPNI), menyebut biografi ini memberikan kontribusi penting bagi perluasan wawasan publik tentang sejarah bangsa.

“Karya seperti ini memperkaya perspektif sejarah nasional dan memperlihatkan bahwa semangat kebangsaan tidak hanya lahir dari pusat, tetapi juga dari daerah-daerah yang gigih memperjuangkan keadilan,” ungkapnya.

Diskusi buku “Suara dari Timur” di UWRF 2025 berlangsung dalam suasana reflektif. Para peserta sepakat bahwa gagasan Ajoeba Wartabone mengenai pendidikan, kemandirian daerah, dan integrasi nasional masih relevan di tengah tantangan kebangsaan masa kini.

Kehadiran buku ini menjadi pengingat bahwa perjuangan membangun Indonesia tidak hanya berasal dari pusat, tetapi juga dari wilayah-wilayah di Timur Nusantara yang setia menjaga persatuan.

UWRF 2025 pun menjadi ruang penting untuk mempertemukan sejarah, sastra, dan kebudayaan — sekaligus menghidupkan kembali suara moral dari Timur yang menegaskan arti sebenarnya dari semboyan:

Sekali ke Djokja, Tetap ke Djokja. Sekali bersatu, tetap Indonesia.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *